Konflik Karena
Diskriminasi, Persaingan
& Kebencian
Kali ini kami akan berbagi tentang pengertian serta contoh Konflik Karena
Diskriminasi, Persaingan
& Kebencian, dan semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi kita semua...
KONFLIK PERSAINGAN
Persaingan
yang bermakna secara finansial. Kami menemukan dampak besar yang kompetitif ini
framing. framing.. Lingkungan yang kompetitif meningkatkan efek dalam kelompok
kerja sama secara substansial. Pada saat
yang sama, ada efek permusuhan kuat: hukuman menjadi alat untuk menyerang luar
bukan alat untuk penegakan norma. Kelompok keanggotaan dipasangkan dengan
persaingan untuk sumber daya yang langka sehingga menciptakan konflik
antargolongan kuat bahkan, yang diimbangi sebagian keuntungan. dari peningkatan
dalam kelompok kerjasama Kami membahas implikasi hasil untuk biaya dan
organizational manfaat organisasi tim, di rangkaian dengan kompetitif versus
kompetitif organisasi
budaya.
KONFLIK
DISKRIMINASI
Diskriminasi
merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana
layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu
tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam
masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk
membeda-bedakan yang lain. Ketika
seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku,
antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi
fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
diskriminasi
Diskriminasi
langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik
tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang
sama. Diskriminasi
tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi
diskriminatif saat diterapkan di lapangan.Diskriminasi ditempat kerja
Diskriminasi
dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk: dari struktur upah, cara penerimaan karyawan, strategi yang diterapkan dalam
kenaikan jabatan, atau kondisi
kerja secara umum yang bersifat diskriminatif.
Diskriminasi
di tempat kerja berarti mencegah seseorang memenuhi aspirasi profesional dan
pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang dimilikinya. Teori statistik diskriminasi
berdasar pada pendapat bahwa perusahaan tidak dapat mengontrol produktivitas
pekerja secara individual. Alhasil, pengusaha cenderung menyandarkan diri pada
karakteristik-karakteristik kasat mata, seperti ras atau jenis kelamin, sebagai
indikator produktivitas, seringkali diasumsikan anggota dari kelompok tertentu
memiliki tingkat produktivitas lebih rendah.
Konflik.
Kebencian Sosial Yang Tersembunyi (Socio–Cultural Animosity). Pola konflik di Indonesia
ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orba dengan pendukung
Reformasi, tetapi justru meluas antar suku, agama, kelas sosial, kampung dsb. Sifatnyapun bukan vertical antara
kelas atas dan bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antara rakyat
kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi
destruktif (tidak fungsional tetapi disfungsional). Kita menjadi “self
destroying nation”.
•
Konflik sosial yang terjadi di Indonesia bukan hanya konflik terbuka (manifest
conflict) tetapi lebih berbahaya lagi adalah “hidden atau latent conflict”
antara berbagai golongan.
•
Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang bersumber dari perbedaan
ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu,
sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik tersembunyi ini
bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung
dihampir seluruh pranata sosialisasi (agent of socialization) di masyarakat
(mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi
massa, organisasi politik dsb.
•
Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture)
•
Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan
kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif), tetapi
lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif).
•
Mempertimbangkan persoalan diatas, nampaknya suatu “socio-cultural policy” dan
“socio-cultural” planning - yang berdasarkan analisis sosiologis-antropologis
yang mendalam dan metode pemecahan masalah yang dipelajari dari berbagai
pengalaman bangsa yang lain - amat kita perlukan.
Kemiskinan
dan ketidak adilan sering ”jatuh bersamaan” dengan identitas sosial tertentu. Karena kebencian sosial yang
tersembunyi, maka timbul suatu budaya merebaknya pengangguran. Secara
sosiologis, penganggur adalah orang yang tidak memiliki status sosial yang
jelas (statusless), sehingga tidak memiliki standar pola perlaku yang pantas
atau tidak pantas dilakukan, cenderung mudah melepaskan diri dari tanggungjawab
sosial. Dalam kondisi yang ekstrim penganggur tidak peduli terhadap keteraturan
sosial, dan bahkan menginginkan terjadinya “kekacauan sosial” (social disorder
atau bahkan chaos) agar mendapat keutungan dari ketidak-teraturan itu. Saat ini
ada gumpalan massa penganggur yang jumlahnya 9,5 juta (pada th 2003). Mereka
banyak dimanfaatkan oleh pelaku politik sebagai alat penekan dan pembenaran
aspirasi politik mereka, sehingga demonstrasi saat ini tidak selalu merupakan
ekspresi dari aspirasi rakyat yang murni.
No comments:
Post a Comment